Selamat Datang Di Blog YudiFlasheR

Menorekan apa yang kita rasakan adalah tidak mudah, merangkai kata untuk mewakili perasaan itu seperti mendaki sebuah bukit yang terjal, terkadang terpeleset, atau terantuk dan akhirnya perlu adanya energi kemauan dan kebiasan positif yang terlatih.

Minggu, 01 November 2009

Mengajar itu tidak mudah..


Beberapa waktu yang lalu, teman saya yang seorang guru privat mengeluh. Ia mengeluh karena ia merasa diperlakukan oleh orang tua murid secara tidak adil. Pasalnya, orang tua murid privat itu protes karena nilai-nilai anaknya buruk. Tak hanya itu, teman saya itu dianggap tidak bisa ‘menguasai’ anaknya. Ortu anak itu menganggap teman saya ‘diatur’ oleh anaknya dan bukan ‘mengatur’. Ortu tersebut juga tidak menyetujui cara teman saya mengajar yang mengedepankan fun dan interesting. Keluar dari persoalan mengajar materi sekolah, ortu anak tersebut juga mengeluhkan nilai-nilai yang ditanamkan oleh teman saya pada anaknya. Ortu tersebut merasa, teman saya itu telah mengajarkan nilai-nilai yang terlalu jauh untuk ukuran anak kecil (murid privat temanku itu duduk di kelas dua SD).
Disudutkan begitu, teman saya pun sangat kecewa dan marah (dalam hati). Ia merasa sudah berjibaku, tidak tidur cukup ketika malam karena harus membuat rangkuman dan menciptakan cara agar materi yang bisa dengan mudah diterima oleh murid privatnya itu yang semakin hari semakin ia sayang. Ia juga merasa menyerahkan totalitas mengajarnya pada anak itu. Ia menempatkan dirinya tidak hanya sebagai guru tapi juga teman bermain bagi anak itu. Ia juga menyulap dirinya sebagai orang tua anak itu ketika anak itu ‘kesepian’ dan butuh kasih sayang yang tidak bisa ditunda-tunda hingga orangtuanya free dari pekerjaan kantor. Tapi, itu semua hangus begitu saja. Tidak ada apa-apanya. Tidak berarti apa-apa karena ortu anak itu hanya menilai kualitas belajar anaknya dengan menilai berapa angka yang diperoleh di sekolah. Nilai tinggi, berarti pembelajaran oke (mungkin simpelnya gitu deh..). Mereka tampak kecewa dengan nilai – nilai anak mereka yang dianggap tidak unggul dan sangat kecil. Persoalan tidak habis sampai disitu, namanya juga anak kecil..nilai-nilai yang diajarkan oleh teman saya disalahartikan karena memang mungkin penerimaannya yang masih polos dan dangkal layaknya anak kecil. Sebagai contoh, suatu hari, teman saya itu mengajarkan apa-apa saja yang membatalkan wudlu. Salah satunya adalah tidak boleh menyentuh wanita. Hal itu membatalkan wudlu karena bukan muhrim (anak itu cowok..). Namanya juga anak kecil yang terekan di benaknya adalah tidak boleh berarti haram. Ia pun dengan kepolosannya (di luar sepengetahuan teman saya) mengimplementasikan hal itu dengan kapasitas pemahamannya. Suatu hari, datanglah saudara si anak (wanita) tersebut dan ingin masuk kamar anak itu. Si anak pun dengan semangat tidak memperbolehkan wanita itu masuk. Bahkan Mba (pembantu) di rumah pun tidak diperbolehkannya masuk. Tak tanggung-tanggung, mamanya pun tidak diperbolehkan masuk dengan dalih bukan muhrim, maka haram. Alhasil, ortu anak tersebut kaget dan belakangan ketahuan jika yang mengajari pemahaman itu adalah teman saya. Sayangnya, ortu tersebut tidak (mungkin belum) mengkonfirmasikan hal tersebut ke teman saya. Mereka langsung ambil kesimpulan sendiri jika teman saya mengajarkan hal-hal di luar kapasitas pemahaman anak kecil. Hal in semakin memperparah penilaian mereka terhadap kinerja teman saya. Akhirnya, bulan ini, teman saya tidak mengajar lagi.
Ow...ow ..ow...tragis ya...
***
Mencermati kasus di atas, tidak perlu lama-lama, kita bisa langsung bilang ternyata mengajar itu tidak mudah. Dibutuhkan banyak faktor yang menunjang selain keterampilan menyampaikan materi. Murid-murid jaman sekarang beda dengan murid-murid jaman dulu yang begitu penurut sehingga mereka menelan apa saja yang disampaikan oleh guru mereka. Tak heran bila ada pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh guru, bisa jadi langsung dituruti oleh murid. Tapi, tidak demikian halnya dengan murid-murid jaman sekarang. Mereka lebih kritis dan lebih banyak ‘tingkah’ pula..he he he. Pola pengajaran, strategi, metode pun semakin berkembang ke arah bagaimana pengajaran bisa fun dan menarik. Belum lagi dari sisi orang tua yang semakin kritis terhadap pengajaran, menuntut dan berharap banyak namun kadang lupa bahwa keberhasilan mengajar bukan hanya merupakan tugas guru di sekolah. Sebaliknya, harus ada kesinambungan antara sekolah, rumah dan lingkungan. Tidak adil jika guru mengajar mati-matian tapi kondisi belajar anak di rumah sangat tidak mendukung (rumah bising tidak kondusif untuk belajar, anggota rumah yang lain seperti adik, kakak dan juga pembantu tidak mendukung mood belajar atau mengerjakan PR). Kurang pas rasanya jika keberhasilan belajar diserahkan begitu saja seratus persen pada guru di sekolah, sementara kita tahu, waktu yang paling banyak adalah waktu yang dihabiskan anak didik bersama oran tuanya di rumah (itupun kalau orangtuanya berada di rumah, tidak disibukkan bisnis dan pekerjaan kantor). Belum lagi faktor yang teramat penting adalah motivasi belajar yang harus datang dari peserta didik sendiri. Motivasi yang melekat sehingga meski anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu..belajar maksudnya.
Sebagai guru (ni..menurut pengalaman pribadi ya..), kita harus pintar-pintar mencermati kondisi anak didik kita. Kenapa? Karena, tiap individu adalah individu yang sangat unik dan berbeda satu sama lain. Boleh jadi, murid kita yang satu sangat pandai dalam berhitung tapi tidak demikian dengan murid kita yang satu lagi. Murid juga punya kecerdasan yang berbeda-beda. Ada yang cerdas gerak, bahasa, seni, eksak dll. Mereka pintar dalam kemampuannya masing-masing. Tidak melulu mesti pintar dalam matematika atau bahasa Inggris. Semua orang mewarisi kelebihannya masing-masing sebagai anugerah dari yang Maha Kuasa. Tinggal bagaimana mengembangkan potensi tersebut.
Saya teringat kisah ‘Anne from Avonlea’ (kalo ga salah ya...terbitan kedua), novel karangan Lucy M. Montegomory ini sangat populer sehingga diterbitkan berkali-kali. Di dalamnya ada kisah Anne yang jadi guru. Lalu, Anne sempat berdebat dengan teman-temannya tentang bagaimana menghadapi murid. Salah satu temannya mengatakan jika muridnya nakal, ia akan menghukumnya (maksudnya dengan kekerasan) agar muridnya jera. Anne sangat tidak setuju dengan hal itu, ia mengatakan ia akan sabar dan mencari cara agar muridnya itu tidak nakal lagi. Ia tidak setuju dengan kekerasan. Hal yang menarik adalah ketika Anne mengatakan yang terpenting baginya sebagai seorang guru adalah bukan mengajarkan membaca, berhitung dan menulis tapi sebaliknya, mencari cara agar murid-murinya mengetahui dan mengenali potensinya masing-masing. Sungguh guru yang sangat ideal. Jadi, ukurannya bukan nilai, tapi jauh dibalik itu semua, yaitu pengenalan dan pengembangan potensi yang dimiliki anak. Sesuatu yang kadang-kadang terlupa dalam pendidikan kita.
Nilai hanya dampak yang diperoleh ketika motivasi anak untuk belajar sudah terbangun. Seorang anak yang menyadari bahwa belajar itu penting maka ia akan belajar. Akibat dari belajar maka ia bisa menjawab soal yang berdampak nilainya akan bagus. Atau.. ada teman yang pernah bilang juga jika nilai hanya parameter untuk mengetahui sejauh mana anak itu belajar. Tapi bukan parameter yang baku. Nilai hanya simbol. Simbol yang tidak mutlak.
Mudah-mudahan, sebagai guru, kita lebih bisa berbenah diri.

( Dari Teh Ade)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar pada Artikel Ini !